Sabtu, 22 November 2008

Mandikan Aku, Bunda

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not the best,” katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.
Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ‘’selevel”; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ”alif” dan huruf terakhir ”ya”, jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.
Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, ”Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? ” Dengan sigap Rani menjawab, ”Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!” Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sittermahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. ”Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.”
Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ”malaikat kecilku”. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ”Alif ingin Bunda mandikan,” ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ”Bunda, mandikan aku!” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.
Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ”Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.” Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.
Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.
Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ”Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kamimasih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?” Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ”Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.
Tiba-tiba Rani berlutut. ”Aku ibunyaaa!” serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ”Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..” Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.
Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.
Sering kali orang sibuk ‘di luaran’, asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu ‘nanti’ buat mereka jadi abaikan saja dulu.
Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.
source : sahabat kehidupan

Kontemplasi Layar Kosong

Aku tak punya kata yang pantas untuk kutuliskan kali ini, kawan. Sekian menit layar ini kosong tak mengeja kata apa pun. Entah apakah aku telah kehabisan ide untuk kutulis atau mungkin aku sudah tak ingin menuliskan apa-apa lagi. Hari-hari ini mungkin mengajarkan banyak hal, sayang tak semua terekam dengan bijaksana. Menurutmu, apakah kita termasuk ke dalam orang-orang yang merugi ketika tak pandai lagi memaknai kehidupan. Barangkali iya, menurutku. Dan aku sedemikian takut ketika kontemplasi demi kontemplasi yang kudapati tak menyisakan sepercik kesejukan dalam hati. Allah... ampuni bila kezaliman diri tlah membuat hati tak peka akan karunia yang semestinya melahirkan jutaan ungkap syukur. Ya... syukur yang yang tak hanya berupa untaian kalimat, tapi juga syukur yang nyata mewujud dalam amal. Maka ingatkan aku ya, Rabb...
Terkadang, tanya ini berseloroh pada kalimat "For this life...Just flow like the water". barangkali filosofi itu mesti kurenungkan lebih dalam. Air, yang selalu mengalir... Bukan air yang menggenang dan menjadi sumber penyakit, tempat menjadi-jadinya blooming algae. Maka hadirkanlah kelapangan dan ketentraman setiap kali menjalankan amanahMU ya Rabb, dalam lelah ataupun tidak. dalam duka maupun suka. Dalam apa pun yang ENGKAU kehendaki menjadi bagian kehidupan ini, menuntaskan satu demi satu tahapan yang ENGKAU ingini untuk membuat manusia lebih manusiawi.

Jumat, 07 November 2008

Ingatkan Aku Ya Allah

Hari beranjak siang. Seperti biasa aku pergi ke kantor dengan menggunakan motor. Bekasi to Jakart. Suatu hal yang biasa, yang selalu ku lalui sehari - hari.
Macet sehingga kemudian Stress dan capai juga hampir selalu menemani kepergianku menuju tempat mencari nafkah,mulai dari Macet di Kalimalang, Cawang sampai pancoran, terus sampai mampang…Masya Allah..
Untuk mengusir stress karena macet.. biasanya aku bernyanyi dengan lagu - lagu terbaru, dengan lagu - lagu yang aku sukai…
Ah.. lagunya anak - anak band masa sekarang…
Kala itu aku sampai di Mampang, terhenti karena lampu merah.Seperti biasa aku bersenandung sambil memperhatikan keadaan sekitar, mencari hal - hal yang menarik yang dapat dilihat, Tetapi kemudian… Ah… Mataku tertumbuk pada lampu lalulintas,kali ini bukan lampu merahnya tapi counter penghitung waktu lampu merah…
detik demi detik kuperhatikan..mulai dari detik ke 90…tik..tik..tik…
lama - lama aku tersadar…Ya Allah…Seandainya waktu menunggu ini kupergunakan untuk berzikir mengingat engkau…maka berapa banyak kalimat zikir yang dapat aku lakukan…
aku mulai menghitung dengan matematika sederhana…lampu merah biasanya 90 detik…jika setiap 2 detik aku beristighfar misalnya…maka aku dapat melakukannya sebanyak 45 kali…
kalau aku melakukannya disepanjang perjalananku…misalnya 45 menit…Maka Subhanallah… 45 * 60 / 2 = 1350 kali…
Bagaimana jikalau aku melakukannya disetiap hembusan nafasku…
langsung ku teringat…
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,(yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna…(Al Mu’minun:1-3)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. ” (Al- ‘Ashr :1-3)
Ya Allah…Ampuni aku yang telah menyia-nyiakan setiap detik waktu darimu…Ampuni aku yang telah banyak melakukan perbuatan yang sia - sia….
Ya Allah..Ingatkanlah aku jika aku lupa kepada-Mu…