Minggu, 21 Desember 2008
kerikil
kau mengerti?
jangan kau lemparkan
dengan marahmu
tahanlah di tanganmu
ia bisa lebih berharga
untuk dipakai bersuci
atau
jika ingin kau lemparkan
serahkan saja pada tangan
balita mungil di Palestina
ia akan jadi senjata
pembela keadilan
tapi tidak dengan tanganmu
aku tak percaya
sebab yang kulihat
engkau hanya seorang "pecundang"
Sabtu, 22 November 2008
Mandikan Aku, Bunda
Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ‘’selevel”; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ”alif” dan huruf terakhir ”ya”, jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.
Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, ”Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? ” Dengan sigap Rani menjawab, ”Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!” Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sittermahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. ”Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.”
Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ”malaikat kecilku”. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ”Alif ingin Bunda mandikan,” ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ”Bunda, mandikan aku!” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.
Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ”Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.” Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.
Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.
Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ”Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kamimasih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?” Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ”Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.
Tiba-tiba Rani berlutut. ”Aku ibunyaaa!” serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ”Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..” Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.
Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.
Sering kali orang sibuk ‘di luaran’, asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu ‘nanti’ buat mereka jadi abaikan saja dulu.
Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.
source : sahabat kehidupan
Kontemplasi Layar Kosong
Terkadang, tanya ini berseloroh pada kalimat "For this life...Just flow like the water". barangkali filosofi itu mesti kurenungkan lebih dalam. Air, yang selalu mengalir... Bukan air yang menggenang dan menjadi sumber penyakit, tempat menjadi-jadinya blooming algae. Maka hadirkanlah kelapangan dan ketentraman setiap kali menjalankan amanahMU ya Rabb, dalam lelah ataupun tidak. dalam duka maupun suka. Dalam apa pun yang ENGKAU kehendaki menjadi bagian kehidupan ini, menuntaskan satu demi satu tahapan yang ENGKAU ingini untuk membuat manusia lebih manusiawi.
Jumat, 07 November 2008
Ingatkan Aku Ya Allah
Macet sehingga kemudian Stress dan capai juga hampir selalu menemani kepergianku menuju tempat mencari nafkah,mulai dari Macet di Kalimalang, Cawang sampai pancoran, terus sampai mampang…Masya Allah..
Untuk mengusir stress karena macet.. biasanya aku bernyanyi dengan lagu - lagu terbaru, dengan lagu - lagu yang aku sukai…
Ah.. lagunya anak - anak band masa sekarang…
Kala itu aku sampai di Mampang, terhenti karena lampu merah.Seperti biasa aku bersenandung sambil memperhatikan keadaan sekitar, mencari hal - hal yang menarik yang dapat dilihat, Tetapi kemudian… Ah… Mataku tertumbuk pada lampu lalulintas,kali ini bukan lampu merahnya tapi counter penghitung waktu lampu merah…
detik demi detik kuperhatikan..mulai dari detik ke 90…tik..tik..tik…
lama - lama aku tersadar…Ya Allah…Seandainya waktu menunggu ini kupergunakan untuk berzikir mengingat engkau…maka berapa banyak kalimat zikir yang dapat aku lakukan…
aku mulai menghitung dengan matematika sederhana…lampu merah biasanya 90 detik…jika setiap 2 detik aku beristighfar misalnya…maka aku dapat melakukannya sebanyak 45 kali…
kalau aku melakukannya disepanjang perjalananku…misalnya 45 menit…Maka Subhanallah… 45 * 60 / 2 = 1350 kali…
Bagaimana jikalau aku melakukannya disetiap hembusan nafasku…
langsung ku teringat…
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,(yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna…(Al Mu’minun:1-3)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. ” (Al- ‘Ashr :1-3)
Ya Allah…Ampuni aku yang telah menyia-nyiakan setiap detik waktu darimu…Ampuni aku yang telah banyak melakukan perbuatan yang sia - sia….
Ya Allah..Ingatkanlah aku jika aku lupa kepada-Mu…
Rabu, 29 Oktober 2008
Sabtu, 18 Oktober 2008
...
ini yang terakhir...
sungguh...
dan aku tak tahu lagi...
setelah ini...
apakah masih KAU sisakan...
sebutir kekuatan...
...
...
...
Kamis, 09 Oktober 2008
Senin, 06 Oktober 2008
REUNI
Hidup ini berfase. Ada tahap-tahapnya. Aku tahu itu, misalnya dari kecil lalu tumbuh menjadi besar, dari kanak-kanak menjadi dewasa. Ada perkembangan biologis dan psikologis yang menyertainya. Ya, aku tahu itu. Kadangkala ada orang-orang yang menertawakan proses itu. Tapi biar saja. Aku tak peduli. Aku menikmatinya. Menikmati proses-proses itu dan menyerap sebanyak mungkin pelajaran darinya. Bukankah Tuhan menyuruh kita belajar sepanjang hidup?
Seperti ketika orang bertemu dengan teman-teman lamanya dalam sebuah perlehatan reuni akbar atau sekedar silaturahim kecil-kecilan. Sejenak melupakan persoalan yang tengah dihadapinya kini dan mengharu biru dalam secuil kenangan masa silam. Bercengkerama dalam gelak tawa dan canda yang lebih elegan pastinya sebab pemikiran pun bermetamorfosis lebih sempurna. Apa salahnya? Dari sana juga banyak pelajaran yang bisa diambil tidak sekedar dikenang. Jika hidup hari ini harus dilanjutkan, memang seharusnya demikian. Masa lalu tidak selamanya harus dibuang dan dilupakan. Masa lalu yang tidak sepenuhnya indah pun juga masih bisa diperbaiki dengan memperbaiki cara pandangnya. Dan kalau mau jujur bukankah ruang hati kita terlalu luas untuk sekedar diisi oleh peristiwa hari ini? Bukankah personil-personil masa lalu itu juga masih menempati sebagian ruangnya, bahkan kadang tak terganti. Terlepas dari slogan yang menempel padanya ‘benci’ atau ‘sayang’. Ah, yang benar saja jika ada orang yang sepenuhnya bisa membabat habis rasa sampai menjadi tak berasa. Kalau kita melibatkan hati dalam setiap empati, rasanya tak mudah mengubah yang berisi menjadi kosong kembali. Terlebih bila empati itu dititipkan pada Sang Maha Menjaga, bisa diambil kapan saja tanpa perlu merasa luka.
Aku pernah membaca bab bernama persahabatan. Aku kini lebih senang membahasnya dalam tema ‘persaudaraan’. Di sana ada point berjudul ITSAR, dilanjutkan dengan KELAPANGAN HATI, lalu KEIKHLASAN dan ternyata berujung pada CINTA pada-NYA.
Hidup itu…Subhanallah, kataku pada akhirnya. Kadangkala, sungguh canda tawa itu diperlukan agar hidup ini tak melulu belukar. Terimakasih ya Rabb, atas rezekiMU..baik berupa uang, makanan, kesehatan, keluarga, sahabat-sahabat yang baik, ketentraman hati, kemudahan untuk beramal sholeh dan ampuni jika kami masih menanyakan keadilan dan mengeluhkan dari sedikit yang ENGKAU ujikan pada kami.
Beragam kabar tentunya saat menyapa beragam saudara, tapi syukur semoga senantiasa mengakar dalam untaian lisan yang terlepas hingga berujud doa yang demikian indah dimohonkan padaNya. Doa yang menjadi satu-satunya penyangga saat ikhtiar serasa tak lagi bertenaga. Doa juga yang masih mungkin dipersembahkan saat salam enggan bersahut atau raga tak dapat bersua sebab jarak yang menjadi pemisah atau kabar yang hilang jejak.
Pergiliran roda kehidupan itu kini terbaca nyata di hadapanku, tak sekedar membacanya tapi kemudian membuatku berfikir lebih jauh bahwa setiap saat kita mesti bersiap berada di posisi mana pun dengan kesabaran dan kesyukuran. Saat bahagia siap dibagi atau pun saat duka siap direguk maknanya. Akan sama indahnya tatkala diresapi dengan kebeningan hati bahwa Allah Mencintai setiap hambaNya.
Selasa, 19 Agustus 2008
Air mata
Minggu, 17 Agustus 2008
Sabtu, 09 Agustus 2008
Tentang Orang-orang Terluka
Selasa, 05 Agustus 2008
Rabu, 30 Juli 2008
Begitulah Kata-Kata Menunjukkan siapa dirimu...
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna
Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Di telan deru kotamu
Sebait lirik lagu bertitle Jogjakarta di atas kerapkali masih kudendangkan. Jogja, sampai hari ini masih begitu lekat dalam hati. Tak terkelupas sedikitpun sekalipun segala yang kudapati hari ini di tempatku kini mungkin jauh lebih banyak. Selalu ada setumpuk cerita tiap kali mengingatnya. Kau tahu kawan? Di antara sederet kekecewaan adalah ketika orang terdekat kita melupakan kita terlepas dari kesengajaan atau tidaknya dia. Sekilas tampaknya aku telalu egois berpendapat seperti ini. Tapi mengartikan kehilangan sama artinya dengan mengartikan kebaikan bukan?
Kebaikan itu defenitif dan bukan referensi. Defenitif itu bersinergi dengan waktu, dimana orang baru bisa mendefenisikan sesuatu setelah sampai pada tahap memahami, tidak sekedar menghafal referensi. Maka kebaikan akan kehilangan defenisinya setiap kali turun gradenya dari paham menjadi sekedar tahu atau bahkan menjadi kurang tahu dan pada akhirnya lupa. Maka sama artinya juga defenitif itu berarti memelihara makna.
Ketika seorang sahabat bercerita dalam tulisannya yang indah tentang arti seorang sahabat baginya, hatiku buncah. Kucoba meraba hatinya tentang bagaimana sudut pandangnya terhadap kehidupan hingga dimana ia menampatkan orang-orang di sekitarnya di dalam hatinya. ia menulis di tengah-tengah kesibukannya menjadi ibu, menjadi istri sekaligus menjadi wanita karier. Tak banyak yang sepertinya di mana ia masih memiliki segudang empati di tengah persoalannya sendiri. Tapi begitulah bila hati yang berperan dalam membingkai kehidupan, maka yang mengalir adalah keindahan. dan begitulah ia yang menggulirkan kata-katanya dalam larik-larik cerita atau dalam bait-bait puisinya, sederhana namun karena ia berbahasa dengan hatinya maka demikianlah kata-kata itu menunjukkan siapa dirinya. Thanks ya, friend... for all.
invisible meaning
Bila daunmu meranggas
Bagaimana mungkin kau sirami gersang pematang
Bila tubuhmu layu
Bagaimana bisa kau ceritakan tentang hujan
Bila kemarau tak berkesudahan
Sementara air matamu saja kian deras
Mengalirkan pupus harapan
Dan
Ketika kau terkapar
Sekarat dalam entah
Mereka belum mengerti
Tak pernah tahu akan lukamu
Kau rasa sendiri
Duhai hati…tabahlah
Sejenak sandarkanlah lelah
Pada kemahaanNYA
Senja Itu Jingga
Jogja terlihat merah dalam tatapku kala itu
Seketika merona putih saat air wudhu
membasuh semburat wajahmu yang letih…
Dan kerlingmu yang ‘tabah’ tak bisa kulupa
Meski senyummu masih saja bicara
tentang inginmu tuk bahasakan krama
Aku mengerti,
Bahwa dadamu buncah tangis
Sebab sekerat beban menoreh payah langkahmu
Aku hanya bisa menepuk pundakmu dalam sekantung doa
Agar kita mampu tuntaskan amanah
Aku bangga padamu
‘sabarlah’
Kita memang sedang belajar dewasa
Menjadi orang tua
Dan,
Senja jadi jingga dalam tatapku
Ketika matahari sempurna kembali
Mari, kita pulang dulu
Hempaskan penat.
Minggu, 27 Juli 2008
Partikel Saja...
Bila Hanya Partikel...
Jumat, 18 Juli 2008
MY PRAYER
Alloh kuatkan imanku
Dalam kehidupan ini
Penuh tantangan dan jua rintangan
Mudahkanlah tempuhi jalanku
Sesekali terjebak dalam naungan dosaT
erasa hilang jiwaku
Alloh kutahu cintamu
Kau berikan nikmat melimpah
Setiap saat tiada terputus
Namunku jarang mensyukuri
Kusadari semua nafsu telah menipu
Hingga kulupakan cinta-Mu
Ya Alloh dunia menipuku
Indahnya palingkan mata
Terjebak aku dalam
syukurku pada-Mu
Ya Alloh tuhanku ampuilah
lurus jalanku ini
Alloh betapa indahnya
Bila hidup dalam petunjuk-Mu
Ya Alloh tuhanku ampunkan dosaku
Agar lurus jalanku ini
Alloh betapa indahnya
Bila hidup dalam petunjuk-Mu
Namun kusadari betapa beratnya
Untuk mendapatkan semua itu
Kutiada daya tanpa pesona-Mu
Wahai Tuhanku Yang Kuasa
Ya Allohu Ya Rohman
Pintaku hanya kepada-Mu
Kembalikan semua ghirahku
Menuju jalan-Mu yang satu
Tiada daya kuatnya jiwa hampa
Ridho-Mu Ya Alloh
Ridho-Mu Ya Alloh
Alloh kutahu maksud-Mu
Kau ciptakan semua ini
Untuk beribadah dan taat pada-Mu
namun ku sering melalaikan
Ya Alloh tuhakuAmpunkan dosaku
Agar hidupku selamat
Allohu Alloh Yaa Allohu
Ya Alloh Allohu Yaa Rohiim
Allohu Ya Rohiim
Allohu Yaa Rohman
Allohu Ya Rohiim