Minggu, 21 Desember 2008

kerikil

kerikil itu: lepaskan saja
kau mengerti?

jangan kau lemparkan
dengan marahmu
tahanlah di tanganmu
ia bisa lebih berharga
untuk dipakai bersuci

atau
jika ingin kau lemparkan
serahkan saja pada tangan
balita mungil di Palestina
ia akan jadi senjata
pembela keadilan

tapi tidak dengan tanganmu
aku tak percaya
sebab yang kulihat
engkau hanya seorang "pecundang"

Sabtu, 22 November 2008

Mandikan Aku, Bunda

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not the best,” katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.
Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ‘’selevel”; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ”alif” dan huruf terakhir ”ya”, jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.
Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, ”Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? ” Dengan sigap Rani menjawab, ”Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!” Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sittermahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. ”Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.”
Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ”malaikat kecilku”. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ”Alif ingin Bunda mandikan,” ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ”Bunda, mandikan aku!” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.
Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ”Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.” Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.
Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.
Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ”Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kamimasih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?” Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ”Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.
Tiba-tiba Rani berlutut. ”Aku ibunyaaa!” serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ”Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..” Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.
Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.
Sering kali orang sibuk ‘di luaran’, asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu ‘nanti’ buat mereka jadi abaikan saja dulu.
Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.
source : sahabat kehidupan

Kontemplasi Layar Kosong

Aku tak punya kata yang pantas untuk kutuliskan kali ini, kawan. Sekian menit layar ini kosong tak mengeja kata apa pun. Entah apakah aku telah kehabisan ide untuk kutulis atau mungkin aku sudah tak ingin menuliskan apa-apa lagi. Hari-hari ini mungkin mengajarkan banyak hal, sayang tak semua terekam dengan bijaksana. Menurutmu, apakah kita termasuk ke dalam orang-orang yang merugi ketika tak pandai lagi memaknai kehidupan. Barangkali iya, menurutku. Dan aku sedemikian takut ketika kontemplasi demi kontemplasi yang kudapati tak menyisakan sepercik kesejukan dalam hati. Allah... ampuni bila kezaliman diri tlah membuat hati tak peka akan karunia yang semestinya melahirkan jutaan ungkap syukur. Ya... syukur yang yang tak hanya berupa untaian kalimat, tapi juga syukur yang nyata mewujud dalam amal. Maka ingatkan aku ya, Rabb...
Terkadang, tanya ini berseloroh pada kalimat "For this life...Just flow like the water". barangkali filosofi itu mesti kurenungkan lebih dalam. Air, yang selalu mengalir... Bukan air yang menggenang dan menjadi sumber penyakit, tempat menjadi-jadinya blooming algae. Maka hadirkanlah kelapangan dan ketentraman setiap kali menjalankan amanahMU ya Rabb, dalam lelah ataupun tidak. dalam duka maupun suka. Dalam apa pun yang ENGKAU kehendaki menjadi bagian kehidupan ini, menuntaskan satu demi satu tahapan yang ENGKAU ingini untuk membuat manusia lebih manusiawi.

Jumat, 07 November 2008

Ingatkan Aku Ya Allah

Hari beranjak siang. Seperti biasa aku pergi ke kantor dengan menggunakan motor. Bekasi to Jakart. Suatu hal yang biasa, yang selalu ku lalui sehari - hari.
Macet sehingga kemudian Stress dan capai juga hampir selalu menemani kepergianku menuju tempat mencari nafkah,mulai dari Macet di Kalimalang, Cawang sampai pancoran, terus sampai mampang…Masya Allah..
Untuk mengusir stress karena macet.. biasanya aku bernyanyi dengan lagu - lagu terbaru, dengan lagu - lagu yang aku sukai…
Ah.. lagunya anak - anak band masa sekarang…
Kala itu aku sampai di Mampang, terhenti karena lampu merah.Seperti biasa aku bersenandung sambil memperhatikan keadaan sekitar, mencari hal - hal yang menarik yang dapat dilihat, Tetapi kemudian… Ah… Mataku tertumbuk pada lampu lalulintas,kali ini bukan lampu merahnya tapi counter penghitung waktu lampu merah…
detik demi detik kuperhatikan..mulai dari detik ke 90…tik..tik..tik…
lama - lama aku tersadar…Ya Allah…Seandainya waktu menunggu ini kupergunakan untuk berzikir mengingat engkau…maka berapa banyak kalimat zikir yang dapat aku lakukan…
aku mulai menghitung dengan matematika sederhana…lampu merah biasanya 90 detik…jika setiap 2 detik aku beristighfar misalnya…maka aku dapat melakukannya sebanyak 45 kali…
kalau aku melakukannya disepanjang perjalananku…misalnya 45 menit…Maka Subhanallah… 45 * 60 / 2 = 1350 kali…
Bagaimana jikalau aku melakukannya disetiap hembusan nafasku…
langsung ku teringat…
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,(yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna…(Al Mu’minun:1-3)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. ” (Al- ‘Ashr :1-3)
Ya Allah…Ampuni aku yang telah menyia-nyiakan setiap detik waktu darimu…Ampuni aku yang telah banyak melakukan perbuatan yang sia - sia….
Ya Allah..Ingatkanlah aku jika aku lupa kepada-Mu…

Rabu, 29 Oktober 2008

reuni




SVCD ini dipersembahkan untuk teman-teman alumni SMUNDA 2000

Sabtu, 18 Oktober 2008

...

Rabbi....
ini yang terakhir...
sungguh...
dan aku tak tahu lagi...
setelah ini...
apakah masih KAU sisakan...
sebutir kekuatan...
...
...
...

Kamis, 09 Oktober 2008

SANG MURRABI

KLIK HERE, PLEASE!! http://jembatandunia.blogspot.com/2008/05/sang-murrabi.html

Senin, 06 Oktober 2008

REUNI

Hidup ini berfase. Ada tahap-tahapnya. Aku tahu itu, misalnya dari kecil lalu tumbuh menjadi besar, dari kanak-kanak menjadi dewasa. Ada perkembangan biologis dan psikologis yang menyertainya. Ya, aku tahu itu. Kadangkala ada orang-orang yang menertawakan proses itu. Tapi biar saja. Aku tak peduli. Aku menikmatinya. Menikmati proses-proses itu dan menyerap sebanyak mungkin pelajaran darinya. Bukankah Tuhan menyuruh kita belajar sepanjang hidup?

Seperti ketika orang bertemu dengan teman-teman lamanya dalam sebuah perlehatan reuni akbar atau sekedar silaturahim kecil-kecilan. Sejenak melupakan persoalan yang tengah dihadapinya kini dan mengharu biru dalam secuil kenangan masa silam. Bercengkerama dalam gelak tawa dan canda yang lebih elegan pastinya sebab pemikiran pun bermetamorfosis lebih sempurna. Apa salahnya? Dari sana juga banyak pelajaran yang bisa diambil tidak sekedar dikenang. Jika hidup hari ini harus dilanjutkan, memang seharusnya demikian. Masa lalu tidak selamanya harus dibuang dan dilupakan. Masa lalu yang tidak sepenuhnya indah pun juga masih bisa diperbaiki dengan memperbaiki cara pandangnya. Dan kalau mau jujur bukankah ruang hati kita terlalu luas untuk sekedar diisi oleh peristiwa hari ini? Bukankah personil-personil masa lalu itu juga masih menempati sebagian ruangnya, bahkan kadang tak terganti. Terlepas dari slogan yang menempel padanya ‘benci’ atau ‘sayang’. Ah, yang benar saja jika ada orang yang sepenuhnya bisa membabat habis rasa sampai menjadi tak berasa. Kalau kita melibatkan hati dalam setiap empati, rasanya tak mudah mengubah yang berisi menjadi kosong kembali. Terlebih bila empati itu dititipkan pada Sang Maha Menjaga, bisa diambil kapan saja tanpa perlu merasa luka.

Aku pernah membaca bab bernama persahabatan. Aku kini lebih senang membahasnya dalam tema ‘persaudaraan’. Di sana ada point berjudul ITSAR, dilanjutkan dengan KELAPANGAN HATI, lalu KEIKHLASAN dan ternyata berujung pada CINTA pada-NYA.

Hidup itu…Subhanallah, kataku pada akhirnya. Kadangkala, sungguh canda tawa itu diperlukan agar hidup ini tak melulu belukar. Terimakasih ya Rabb, atas rezekiMU..baik berupa uang, makanan, kesehatan, keluarga, sahabat-sahabat yang baik, ketentraman hati, kemudahan untuk beramal sholeh dan ampuni jika kami masih menanyakan keadilan dan mengeluhkan dari sedikit yang ENGKAU ujikan pada kami.

Beragam kabar tentunya saat menyapa beragam saudara, tapi syukur semoga senantiasa mengakar dalam untaian lisan yang terlepas hingga berujud doa yang demikian indah dimohonkan padaNya. Doa yang menjadi satu-satunya penyangga saat ikhtiar serasa tak lagi bertenaga. Doa juga yang masih mungkin dipersembahkan saat salam enggan bersahut atau raga tak dapat bersua sebab jarak yang menjadi pemisah atau kabar yang hilang jejak.

Pergiliran roda kehidupan itu kini terbaca nyata di hadapanku, tak sekedar membacanya tapi kemudian membuatku berfikir lebih jauh bahwa setiap saat kita mesti bersiap berada di posisi mana pun dengan kesabaran dan kesyukuran. Saat bahagia siap dibagi atau pun saat duka siap direguk maknanya. Akan sama indahnya tatkala diresapi dengan kebeningan hati bahwa Allah Mencintai setiap hambaNya.

Selasa, 19 Agustus 2008

Air mata

Maka penat itu berkelebat, menjelma menjadi keluh dalam tangis hujan yang membuatku basah kuyup suatu siang yang terik pada mulanya. Berpeluh harapan melangkah jua sepasang kaki mengenang masa depan yang barangkali akan sampai jua kutapaki. Barangkali saat ini ketika hujan deras bergelimpangan letih dan kedinginan kita di sini, ujarnya salah seorang rekan yang bermandikan perjuangan menempuh jalanan basah berlumpur...barangkali di tempat lain ada orang yang mati ditabrak truk, ada yang baru lahir menjadi bayi mungil, ada yang sedang sekarat menjemput maut. Maka beruntunglah kita hanya berucap lelah dan pasrah dalam perjuangan menempuh amanah negara ini. Barangkali..katanya lagi...suatu saat, nasib akan berpihak pada kita.
Aku tersenyum sambil menangis, menunggu pergantian hari yang mungkin lebih baik. Seorang penjaja makanan kecil di kedai kecil di pinggir laut bercerita tentang sepasang kepiting yang baru dibelinya dari seorang nelayan di pantai. Dengan wajahnya yang pias kebahagiaan ditunjukkannya padaku "Bu, begini ini cara memasaknya..pertama potong dulu kaki depannya, lalu...bla bla bla...".
Aku menyaksikan sambil harap-harap pias mengingat hujan di luar yang tak kunjung reda dan sholat zuhur yang belum kutunaikan hingga pukul 1.30 siang. Tangisku surut dan berganti senyum. Ia saja bisa berbahagia dengan hidup apa adanya. Kukenang tempatku berpijak ketika geram kepedihan mulai bergelimpangan membanjiri amarah dan adrenalin yang memuncak karena marahku yang nyaris tumpah.
"Laut kering, Bu. Jadi sampan kita kan lengket jika diteruskan melayar...", seorang penambang berujar dari luar. Aku bisa tersenyum kini.
"Tak apa, Pak. Kami sedang belajar memasak Kepiting, sambil menunggu hujan reda dan pasang naik", kataku.
Sebuah SMS masuk ke handphone ku
"UKHTI, SORE INI RAPAT JAM 4 SORE".
Air mata. Kenapa mudah sekali menitik. Bahkan ketika aku masih di perjalanan belum bisa pulang karena hujan dan laut kering. Ya, akhirnya kupahami...kadangkala oranglain tak mengerti kesusahan ini bila tak dijelaskan.
"INSYAALLAH...DOAKAN SAYA BISA PULANG SECEPATNYA"
serentetan agenda berkeliaran di benakku. Berita yang harus di faks, RPP yangbelum selesai, komputer yang rusak, acara pekan depan.... dan kantung bajuku yang menyisakan uang lima ribu rupiah.
Rabbi...ku tahu Engkau Maha Melihat.

Minggu, 17 Agustus 2008

Upacara di Tepian Pulau




Tujuh belas Agustus menjadi moment bersejarah bagi bangsa Indonesia. Tidak terkecuali juga bagi masyarakat marginal di tepian Riau yang masih memaknai kemerdekaan.


berikut dokumentasi sebuah upacara sederhana yang khidmat di desa Tanjung Siantar. ternyata kisah laskar Pelangi juga ada di sini.


Sabtu, 09 Agustus 2008

Tentang Orang-orang Terluka

Barangkali di hatinya ada celah yang terabaikan sehingga sandarannya tidak kokoh. Kalau sebutir pasir masuk, maka debu pun apalagi. Maka segala perca kehidupan yang kecil masuk ke dalam celah itu. Maka seolah-olah ruang itu jadi penuh. Seolah penuh dengan asa padahal dosa yang tercipta karena tumpukan noda yang datang satu demi satu, lalu menutupi kebeningan si hati. Kasihan sekali mereka yang terluka karena hatinya sendiri. Sandaran pun roboh. Takdir dipersalahkan. Hati pun luka, sakit, perih dan berkarat. Ribuan keluh bermunculan. Rasanya pedih.
Kawan...mari kita analisis kenapa orang terkadang bisa terluka. Kenapa bisa kecewa. Ternyata bermula dari celah kecil di hati yang lupa ditutupi. Barangkali karena lalai atau terlena dengan urusan-urusan dunia. Kesalahan kecil yang fatal. Salah meletakkan harap bukan padaNya. Sebab bila harapan diletakkan padaNYa, kerinduan akan wajahNya saja yang ada. Apapun akhirnya adalah pemberian terbaik yang diberikanNya. Berbanggalah semestinya, sebab Dia memberikan sesuatu yang spektakuler berupa rahasia yang masih akan tersingkap di kemudian hari saat kita telah memahami inginNya. Pasti ada hikmah dari semua peristiwa, hanya saja kita terlalu awam untuk memahami.
Barangkali juga bukan sekarang kita baca, tapi esok saat hari ini telah menjadi masa lalu. Berlalulah luka, tak mengapa. Ini hidup, untaian tarbiyah tak berjeda kecuali kita membuat jeda yang panjang.
Lalu, tentang jenuh. Apa ya obatnya? semakin dipikirkan ternyata cuma kebencian yang menggunung. Segalanya memang membosankan kecuali kita tetap setia padaNya. Seperti elang yang membutuhkan angkasa luas untuk terbang melanglang buana dan kitari dunia. Bila tak ada yang didapati, ya sudah terima sajka apa yang ada. Keajaiban selalu ada bila peka kita melaluinya. Biarlah segala luka hanya sesaat saji. Nikmati hakikatnya. Resapi filosofinya. Maka kita akan kaya kontemplasi.
Hidup itu berjalan ke depan dan bukan mundur ke belakang, maka yang masih ada di depan dan menjadi milik kita pastilah satu saat akan kita capai. Jika bukan maka akan kita lalui. Itu saja, ridho dengan kehendakNya dan yakin bahwa itu adalah yang terbaik. Apa pun namanya, apapun bentuknya, adalah hadiah terindah untuk jiwa yang indah memaknai hidup dengan indah. Selamat menapaki hari baru. Get the spirit of ikhlas. (Rieve)

Selasa, 05 Agustus 2008

Rabu, 30 Juli 2008

Begitulah Kata-Kata Menunjukkan siapa dirimu...

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna
Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Di telan deru kotamu

Sebait lirik lagu bertitle Jogjakarta di atas kerapkali masih kudendangkan. Jogja, sampai hari ini masih begitu lekat dalam hati. Tak terkelupas sedikitpun sekalipun segala yang kudapati hari ini di tempatku kini mungkin jauh lebih banyak. Selalu ada setumpuk cerita tiap kali mengingatnya. Kau tahu kawan? Di antara sederet kekecewaan adalah ketika orang terdekat kita melupakan kita terlepas dari kesengajaan atau tidaknya dia. Sekilas tampaknya aku telalu egois berpendapat seperti ini. Tapi mengartikan kehilangan sama artinya dengan mengartikan kebaikan bukan?

Kebaikan itu defenitif dan bukan referensi. Defenitif itu bersinergi dengan waktu, dimana orang baru bisa mendefenisikan sesuatu setelah sampai pada tahap memahami, tidak sekedar menghafal referensi. Maka kebaikan akan kehilangan defenisinya setiap kali turun gradenya dari paham menjadi sekedar tahu atau bahkan menjadi kurang tahu dan pada akhirnya lupa. Maka sama artinya juga defenitif itu berarti memelihara makna.

Ketika seorang sahabat bercerita dalam tulisannya yang indah tentang arti seorang sahabat baginya, hatiku buncah. Kucoba meraba hatinya tentang bagaimana sudut pandangnya terhadap kehidupan hingga dimana ia menampatkan orang-orang di sekitarnya di dalam hatinya. ia menulis di tengah-tengah kesibukannya menjadi ibu, menjadi istri sekaligus menjadi wanita karier. Tak banyak yang sepertinya di mana ia masih memiliki segudang empati di tengah persoalannya sendiri. Tapi begitulah bila hati yang berperan dalam membingkai kehidupan, maka yang mengalir adalah keindahan. dan begitulah ia yang menggulirkan kata-katanya dalam larik-larik cerita atau dalam bait-bait puisinya, sederhana namun karena ia berbahasa dengan hatinya maka demikianlah kata-kata itu menunjukkan siapa dirinya. Thanks ya, friend... for all.
Bercerita tentang sahabat... aku jadi teringat tentang grade of interaktion in Islam. Rasanya aku tidak akan menempatkanmu sebagai sahabat, sebab engkau memiliki tempat yang lebih dari itu bagiku. Ketika Islam menyadarkanku akan ukhuwah, maka aku seketika itu mengambilmu sebagai saudara. sebab kita dipersaudarakan oleh Islam, dan kuyakin karena sebab itu pula yang menuntun hati-hati kita untuk bertemu dalam bahasa yang sama, memperjuangkan hal yang sama, membela hal yang sama, meski mungkin dengan jalan yang berbeda. Dari sana kita menjadi tahu lebih banyak tentang hidup kita hari ini yang tidak akan sekedar kita jalani lalu kita lupakan. Tapi juga akan kita isi untuk jutaan hal yang bermanfaat dan bagi indahnya hidup sesudah hidup di dunia ini. Barangkali engkau tak sadar telah menyadarkanku tentang ini sebab kau tidak pernah menggurui. Karenanya aku belajar banyak tentang berbicara, memberi dan menjadi berarti. Semoga suatu saat kau temukan tulisan ini, dan kau akan tahu betapa aku menyayangimu sebagai saudaraku.

invisible meaning

Bagaimana bisa kau hijaukan seresah
Bila daunmu meranggas
Bagaimana mungkin kau sirami gersang pematang
Bila tubuhmu layu
Bagaimana bisa kau ceritakan tentang hujan
Bila kemarau tak berkesudahan

Sementara air matamu saja kian deras
Mengalirkan pupus harapan
Dan
Ketika kau terkapar
Sekarat dalam entah
Mereka belum mengerti
Tak pernah tahu akan lukamu
Kau rasa sendiri

Duhai hati…tabahlah
Sejenak sandarkanlah lelah
Pada kemahaanNYA

Senja Itu Jingga

Jogja terlihat merah dalam tatapku kala itu


Seketika merona putih saat air wudhu

membasuh semburat wajahmu yang letih…

Dan kerlingmu yang ‘tabah’ tak bisa kulupa

Meski senyummu masih saja bicara

tentang inginmu tuk bahasakan krama

Aku mengerti,

Bahwa dadamu buncah tangis

Sebab sekerat beban menoreh payah langkahmu

Aku hanya bisa menepuk pundakmu dalam sekantung doa

Agar kita mampu tuntaskan amanah

Aku bangga padamu

‘sabarlah’

Kita memang sedang belajar dewasa

Menjadi orang tua

Dan,

Senja jadi jingga dalam tatapku

Ketika matahari sempurna kembali

Mari, kita pulang dulu

Hempaskan penat.

Minggu, 27 Juli 2008

Partikel Saja...

"Jelaskan perbedaan antara susunan partikel zat padat dengan zat cair", kalimat itu pernah kusampaikan sebagai pembuka pelajaran tentang Zat dan Partikel. Aku ingin mereka tidak sekedar tahu perbedaannya tapi lebih dari itu aku ingin mereka juga memahami filosofinya. Itu pemikiranku suatu kali ketika mengajar Fisika di hadapan murid-muridku.
Ketika hari ini aku mendapati fenomena itu dalam satu sisi kehidupanku, aku merasa bertanggung jawab untuk tidak sekedar pandai bicara. Dan begitulah, kawan, salah satu konsekuensi menjadi guru.
"Rasanya kok, kita semua semakin jauh, ya..Ukht". Begitu ungkapan hati seorang saudari yang sebenarnya sama persis dengan yang kurasakan. Aku juga tak mengerti kenapa hidup begitu mudah berubah dari waktu ke waktu. Entah aku yang jauh tertinggal atau...justru aku semakin lari menjauh, sementara jasad ini tetap berada di sini. Tiga tahun ini rasanya tidak terlalu lama untuk kita lalui bukan? tapi ternyata tiga tahun ini sudah mengubah banyak hal dari kita.
Ya, aku bisa memahami ketika sebagian kita harus pergi satu per satu untuk berbagai alasan dan sebagian kita tetap di sini karena memang tidak punya alasan untuk pergi. Tapi haruskah keputusan-keputusan kita membuat kita kehilangan energi untuk mengusung tujuan besar kita? Entah kita lupa atau barangkali hanya aku yang sedang terlena, tapi kurasakan gerak kita makin tak berasa. Terkadang, miris hatiku bila mengingat semangat menggebu kita dulu. Barangkali jika kita dulu demikian banyak bisa berbuat, itu adalah karena kita memiliki ruh yang terjaga, pemikiran yang tertata dan niat yang kokoh. Entahlah kini... aku tak berani mengklaimnya. Entah, apa hanya aku yang kehilangan semangat itu atau kita semua sudah kehilangan nyali.
Aku tak tahu harus bicara pada siapa selain bercerita panjang lebar padaNYA pada penghujung malam-malamku yang semakin sepi sebab tak ada lagi tahajjud calling yang biasa kudapati darihandphoneku. Ah, dunia...ternyata seringkali kita terperangkap di dalamnya. Dan aku bertanya, kemana kita pergi???
Mestinya kita semakin kokoh bila maisyah semakin kukuh. Sebagaimana gempita doa kita saat mendapatkannya: semoga barokah. Begitu pun setiap kali di antara kita menikah, terusung doa:barakallah..dan selanjutnya terbayang betapa makin kuatnya barisan kita mengusung namaNYA. Atau bahkan kita semestinya tidak peduli, dan justru bersyukur setiap kali musibah menghampiri sebagai bagian dari wujud cintaNYA mengingatkan kita, mempererat kita atau menambah kesabaran kita, sebagaimana Ummu Hani tetap tenang saat kehilangan putera-putranya. Aku tak mengerti kawan, bagian mana kita sekarang?
Ya..barangkali aku saja yang terlalu melankolis memaknai semua. tetapi jujur, sebab aku mencintai perjuangan ini, maka aku mengenang kebersamaan yang memudar itu. sebab aku mencintaiNYA dan sebab aku mencintai kalian semua karenaNYA.
Atau kita cukuplah berbicara sederhana saja bahwa sebagaimana fenomena Fisika: Partikel-partikel benda padat tersusun rapi dan rapat sehingga kemungkinan gerak antara partikelnya sangat kecil kecuali bergerak bersama-sama, sementara partikel benda cair jaraknya berjauahan dan keterikannya lebih kecil sehingga kemungkinan pergerakan antara partikelnya lebih besar. karenanya juga benda cair bisa berubah wujud sesuai tempatnya".
Lalu kita?
Mungkin memang ada baiknya bila aku menikmati masa-masa inis ebagai masa kontemplasi, sebagaimana juga aku menemukan banyak hal indah dalam sisi kehidupan yang lain. Bahwa ternyata cinta begitu universal. Bahwa ternyata begitu banyak hal indah di sekelilingku yang terabaikan selama ini. Tapi... aku masih berharap kita kembali menemukan jalan untuk menghimpun yang terserak dari keping semangat, niat dan energi yang tersisa. Bahwa kita tidak akan pernah kehilangan arah betapapun sulit menapakkan kembali.

Bila Hanya Partikel...

"Apa perbedaan susunan partikel zat padat dan zat cair?", pertanyaan itu kulontarkan kepada murid-muridku sebagai pembuka pelajaran tentang Zat dan Partikel. Lebih dari itu, ku ingin mereka tidak sekedar tahu perbedaannya tapi juga memahami filosofinya. Itu pemikiranku suatu hari ketika mengajarkan salah satu bab dari pelajaran Fisika.

Jumat, 18 Juli 2008

MY PRAYER

Doa
Alloh kuatkan imanku
Dalam kehidupan ini
Penuh tantangan dan jua rintangan
Mudahkanlah tempuhi jalanku
Sesekali terjebak dalam naungan dosaT
erasa hilang jiwaku
Alloh kutahu cintamu
Kau berikan nikmat melimpah
Setiap saat tiada terputus
Namunku jarang mensyukuri
Kusadari semua nafsu telah menipu
Hingga kulupakan cinta-Mu
Ya Alloh dunia menipuku
Indahnya palingkan mata
Terjebak aku dalam
syukurku pada-Mu
Ya Alloh tuhanku ampuilah
lurus jalanku ini
Alloh betapa indahnya
Bila hidup dalam petunjuk-Mu
Ya Alloh tuhanku ampunkan dosaku
Agar lurus jalanku ini
Alloh betapa indahnya
Bila hidup dalam petunjuk-Mu
Namun kusadari betapa beratnya
Untuk mendapatkan semua itu
Kutiada daya tanpa pesona-Mu
Wahai Tuhanku Yang Kuasa
Ya Allohu Ya Rohman
Pintaku hanya kepada-Mu
Kembalikan semua ghirahku
Menuju jalan-Mu yang satu
Tiada daya kuatnya jiwa hampa
Ridho-Mu Ya Alloh
Ridho-Mu Ya Alloh
Alloh kutahu maksud-Mu
Kau ciptakan semua ini
Untuk beribadah dan taat pada-Mu
namun ku sering melalaikan
Ya Alloh tuhakuAmpunkan dosaku
Agar hidupku selamat
Allohu Alloh Yaa Allohu
Ya Alloh Allohu Yaa Rohiim
Allohu Ya Rohiim
Allohu Yaa Rohman
Allohu Ya Rohiim